YAKUSA.ID – Menteri Imigrasi dan Pemasyarakatan Agus Andrianto, baru saja meresmikan Peraturan MenImipas Nomor 10 Tahun 2025 tentang remisi tambahan 1–3 bulan bagi narapidana produktif.
Kebijakan ini dirancang untuk mendorong semangat pembinaan di lapas melalui penghargaan konkret bagi mereka yang aktif mengikuti pelatihan vokasi, program pendidikan, atau mengelola unit usaha di dalam penjara.
Menurut data Kemenkumham per April 2025, sebanyak 45.293 narapidana telah menyelesaikan pelatihan vokasi dan pendidikan dasar. Dari jumlah itu, 11.762 napi direkomendasikan untuk mendapatkan remisi ekstra.
“Kita ingin menurunkan angka residivisme dan membangun motivasi positif melalui insentif yang jelas,” tegas MenImiplas Agus.
Direktur Gagas Nusantara Romadhon Jasn, mengapresiasi dan memuji kebijakan MenImipas tersebut. Ia menyebut langkah Agus sebagai “terobosan berani” yang menempatkan penghargaan atas prestasi napi di posisi utama.
“Keputusan Pak Agus menunjukkan visi kepemimpinan yang progresif dan empatik, dengan kriteria objektif seperti kehadiran minimal dan bukti sertifikasi dijalankan tanpa kompromi,” ujarnya di Jakarta, Kamis (19/6/2025)
Tingkat residivisme nasional masih tinggi, berkisar 30 persen. Pertanyaan besarnya: apakah remisi tambahan benar-benar mampu memupuk keterampilan yang relevan dengan kebutuhan pasar kerja, atau sekadar menjadi “label” tanpa perubahan perilaku jangka panjang? Efektivitas insentif ini sedang diuji realitasnya di lapas.
Romadhon kembali menegaskan apresiasinya kepada Agus Andrianto atas komitmen meningkatkan kualitas pembinaan.
“Pemberian remisi ekstra bukan hanya pemotongan masa tahanan, tetapi bentuk pengakuan atas kerja keras narapidana. Ini adalah langkah berani yang patut dicontoh,” katanya.
Kerja sama lintas lembaga menjadi kunci keberhasilan program vokasi lapas. Pelatihan kini melibatkan Kemnaker, lembaga sertifikasi, perguruan tinggi vokasi, dan mitra industri.
Sinergi ini perlu dijaga agar materi pelatihan sesuai standar dan lulusan lapas langsung terserap di pasar kerja.
Pada sisi transparansi, Imipas meluncurkan sistem e-Remisi—platform daring yang memuat data real-time calon penerima remisi. Romadhon menegaskan pentingnya akses publik dan audit independen.
“Publik harus bisa memantau data ini tanpa celah intervensi, sehingga kepercayaan terhadap program tetap tinggi,” ujar Romadhon.
Perspektif ekonomi juga tidak boleh diabaikan. Studi Asian Development Bank menunjukkan eks napi bersertifikat punya peluang kerja 60 persen lebih tinggi usai bebas.
Dengan tambahan remisi, proses sertifikasi dan penempatan kerja diharapkan semakin cepat, memperkuat reintegrasi sosial dan mengurangi beban negara.
Lebih lanjut, Romadhon mendorong perluasan kriteria remisi ke ranah restoratif justice—seperti pelibatan napi dalam mediasi korban-pelaku dan program kemanusiaan di lapas.
“Pembinaan bukan hanya soal keterampilan teknis, tapi juga tanggung jawab sosial dan empati,” tegasnya.
Akhirnya, evaluasi berkala menjadi mutlak. Remisi ekstra ini harus dipandang sebagai awal reformasi, bukan tujuan akhir.
Imbasnya wajib diukur: penurunan residivisme, keberlanjutan kerja, dan stabilitas sosial pasca-bebas. Hanya dengan itulah lapas berubah menjadi pusat pembinaan yang benar-benar manusiawi dan produktif. (YAKUSA.ID-MH)