Pilkada 2024, ‘Standing Poin’ Kepala Desa di Madura Dihantui Intervensi?

Oleh: Hasibuddin*

Opini – Everything Is Fair In Love and War (Semuanya adil dalam cinta dan perang). Sebuah idiom yang berasal dari John Lyly, seorang penyair dan penulis Novel ‘Euphues: The Anatomy of Wit”, pada tahun 1578. Lyly menulis “Aturan bermain adil tidak berlaku dalam cinta dan perang”.

Kalimat itu kemudian diterjemahkan bahwa apa saja boleh dilakukan – termasuk kecurangan – dalam memenangkan cinta dan perang. Tapi bagaimana bila konteksnya pilkada?

Agak riskan memang kalau membahas Pilkada ini, wabil khusus riak-riak para pendukung masing-masing calon yang sama sama ingin memenangkan jagoannya.

Bagi seseorang, kelompok atau apa saja namanya yang menganggap bahwa Pilkada adalah perang, lalu mengadopsi idiom John Lyly, tentu saja boleh memakainya. Sederhananya, tak masalah soal curang selama bisa jadi pemenang. Sebab bila dengan cara baik tidak bisa, maka semua cara akan baik baik saja sampai bisa.

Atau dengan kata lain, paslon atau pendukung fanatiknya itu, menganggap bahwa yang mereka lawan dalam pilkada adalah sebuah musuh, seseorang yang bejat, atau buruk. Sudah pasti, tentu akan beranggapan kalau yang buruk itu harus diperangi, dikalahkan, dan diberangus. Supaya nanti yang akan memimpin bukan dari kalangan-kalangan hitam (bila hitam dimaknai buruk).

Tetapi bisa pula, sekelompok orang itu atau calon mereka tersebut menganut kata love (cinta) dalam idiom John Lyly. Bahwa yang mereka lakukan selama kontestasi pilkada demi menunjukkan rasa cinta pada negara (Baca:Kabupaten) tempat mereka tinggal. Bahwa mereka mendalilkan ingin memajukan kabupaten-nya dari beragam hal, atau alasan-alasan lainnya.

Mari tanggalkan basa-basi soal pemaknaan di atas. Sebut saja, apa yang saya tulis sebagai paragraf pembuka.

Sejak awal kontestasi Pemilu 2024 lalu, sedang ramai-ramainya kepala desa diintervensi. Bahkan, muncul isu Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebagai lembaga anti rasuah harus turun gelanggang demi menakut-nakuti para kepala desa itu. Soal benar tidaknya isu ya Wallahu a’lam.

Mungkin saja ungkapan itu belum sirna hingga Pilkada 2024 selesai. Ya, meskipun sebenarnya, standing point (posisi) kepala desa di Pilkada 2024 sudah jelas. Saya sebutkan lagi, sudah jelas. Dalam Undang-Undang Pemerintahan Desa (UU Nomor 3 Tahun 2024 tentang Desa), standing position-nya kepala desa sudah jelas, tidak boleh berpolitik dan segala macam. Standing posisi ini juga setara dengan netralitas ASN, TNI, Polri, dan penyelenggara pemilu.

Satu poin sudah jelas bahwa kepala desa tidak boleh berpihak dan apalagi mengintervensi rakyatnya.

Lalu, bagaimana kalau kepala desa diintervensi untuk kemudian bergerak mengintervensi rakyatnya? Siapa yang bisa mengintervensi kepala desa? Lalu apa yang ditakutkan kepala desa bila dia tidak mendukung paslon yang mereka tidak inginkan?

Pertanyaan yang saya paparkan cukup saja dijawab oleh pembaca. Karena kalau menerangkan secara rinci, apalagi sampai menyebut, rasa-rasanya saya akan sangat mungkin dapat dijerat dengan pasal UU ITE, seperti kasus yang menimpa Aiman beberapa bulan lalu.

Lalu, apa mungkin kepala desa bisa mengajak mayoritas rakyatnya untuk mendukung paslon tertentu? Pertanyaan ini tentu jawabannya sangat mudah. Kepala desa itu ibarat bapak. Jabatannya punya pengaruh luar biasa. Apalagi di Pulau Madura, tempat tinggal saya.

Politik Desa masih tentu sangat kuat mengarahkan para rakyat di desa masing-masing untuk bisa mendulang suara bagi calon Bupati atau calon wali kota. Rakyat yang takut akan mengiyakan ancaman kepala desa yang oposisi akan melawan, sementara yang tidak berani dan tidak takut lebih memilih diam. Masa bodoh. Terlihat setuju tapi soal pilihan urusan di bilik suara tiap TPS.

Yang saya jelaskan di atas bukanlah mengada-ada. Antara teori dan praktik bisa saja 99 persen relevan bukan?. Meminjam bahasa anak kampus, itu argumen logis. Tetapi argumen yang logis akan kalah dengan calon dengan daya pikat dan kemampuan logistik dalam tanda kutip.

Terlebih, rakyat +62 pada umumnya dan Madura khususnya belum siap melawan kalau soal bagi-bagi uang, sembako, atau semacamnya. Diancam untuk tidak dapat sembako atau bantuan pemerintah, rakyat kita bisa saja tak berkutik. Mati kutu.

Lalu bagaimana menyikapi hal demikian? Tentu hal ini haruslah kembali pada nurani masing-masing. Setiap manusia mesti punya nurani. Termasuk soal mau mendukung dan mencoblos siapa. Bangsa kita ini sebenarnya bukan bangsa yang bodoh, meski sebagian ada saja yang mau dibodohi.

Masyarakat +62 tentu sudah mampu membedakan bagaimana rekam jejak pasangan calon, gagasan, dan konsep membangun kabupaten/kota tempat mereka tinggal. Tinggal saja mereka mengikuti nurani, lalu tentukan pilihan.

*Penulis merupakan rakyat jelata yang kebetulan jadi jurnalis. Saat ini sebagai Redaktur di Yakusa.id

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *