Putusan MK Dianulir DPR, Ketua BKBH Universitas Madura: Putusan MK Bersifat Final 

Dosen Fakultas Hukum sekaligus Ketua Badan Konsultasi Bantuan Hukum (BKBH) Universitas Madura Sapto Wahyono.

PAMEKASAN, YAKUSA.ID –Badan Legislasi (Baleg) DPR RI langsung menggelar rapat untuk membahas Rancangan Undang-Undang (RUU) Pilkada pada hari Rabu, 21 Agustus 2024. Rapat tersebut digelar sehari setelah Mahkamah Konstitusi (MK) mengeluarkan putusan Nomor 60/PUU/XXI/ 2024.

Hal tersebut menimbulkan kontroversi dan penolakan dari berbagai kalangan, mulai dari kalangan mahasiswa, akademisi, serta masyarakat dengan secara serentak membuat tagar #daruratdemokrasi dan #KawalPutusanMK.

Tagar tersebut ramai diperbincangkan di media sosial X, mencerminkan kekhawatiran masyarakat terhadap potensi perubahan atas putusan MK.

Menanggapi hal tersebut, dosen Fakultas Hukum sekaligus Ketua Badan Konsultasi Bantuan Hukum (BKBH) Universitas Madura Sapto Wahyono mengatakan bahwa putusan MK itu bersifat final dan berkedudukan setara dengan Undang-Undang.

“Sehingga putusan MK itu harus dipatuhi dan ditaati oleh semua komponen termasuk DPR dan pemerintah,” katanya kepada Yakusa.id, Jumat (23/8/2024).

Sapto mengatakan, hari ini yang berkembang adalah di Baleg DPR RI tidak menerima putusan MK dan mereka memilih putusan MA, padahal ranahnya berbeda.

MK mempunyai wewenang untuk menguji UU dengan UUD 1945, sedangkan MA menguji produk hukum dibawah Undang-Undang dengan Undang-Undang.

“Dari sini saja sudah berbeda. Lembaganya berbeda, materinya berbeda dan produk hukumnya juga berbeda,” terangnya.

Jadi, kata dia, tidak ada ceritanya, harus memilih antara putusan MK atau Putusan MA. “Jalankan produk hukum hasil putusan MK dan otomatis menggugurkan produk hukum di bawahnya sesuai dengan hierarki peraturan Perundang-Undangan yang diatur dalam UU No 12 tahun 2011,” ucap Sapto.

Lebih lanjut, Sapto mengutarakan, dalam membuat produk hukum, dalam hal ini UU, memang ranahnya pemerintah dan DPR. Dibahas dan disetujui bersama tapi tidak boleh menganulir putusan MK.

Melakukan pembentukan, atau perubahan UU itu harus melalui sistem program legislasi nasional (Prolegnas). Melalui beberapa tahapan dari perencanaan, sampai pengundangan yang telah diatur secara tegas dan jelas dalam UU 12 tahun 2011.

“Jadi tidak tahu-tahu kemudian ada pembahasan bersama antara DPR dan Pemerintah untuk secara tiba-tiba mau merubah undang undang,” ujar dia.

“Dengan munculnya kontroversi tersebut sangat jelas bahwasanya Baleg DPR RI dan seluruh warga negara harus tetap patuh dan mengikuti putusan MK, karena putusan MK bersifat final dan tidak ada upaya hukum lainnya,” tandasnya. (YAKUSA.ID-02/San)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *