Soal Sebutan Mahkamah Kakak dan Mahkamah Adik, Mahfud MD: Kecurigaan Masyarakat itu Konsekuensi Logis

JAKARTA, YAKUSA.ID – Guru besar hukum tata negara Universitas Islam Indonesia (UII) Mahfud MD melayangkan kritik soal putusan Mahkamah Agung atau putusan MA Nomor 23 P/HUM/2024 yang menambah tafsir ihwal syarat usia calon kepala daerah.

Dalam putusan itu, menyebut MA mengabulkan gugatan Partai Garuda mengenai penambahan tafsir usia calon kepala daerah. Keputusan ini telah menimbulkan reaksi dari berbagai kalangan.

Putusan yang diumumkan pada Rabu (29/5) mengubah batas usia minimal calon gubernur dan wakil gubernur dari 30 tahun saat penetapan pasangan calon menjadi setelah pelantikan.

MA lantas memerintahkan KPU untuk mencabut aturan perihal batas usia calon kepala daerah.

“Cara berhukumnya sudah rusak dan dirusak,” katanya melansir CNN, Rabu (5/6/2024).

Mahfud menegaskan, tak ada alasan MA untuk mengabulkan gugatan soal batas usia calon kepala daerah tersebut. Sebab, Peraturan KPU (PKPU) yang telah dibuat sudah sesuai dengan Undang-undang (UU) tentang Pilkada.

Namun, ia heran MA justru menilai PKPU itu dianggap bertentangan dengan UU.

Mahfud juga ikut mengomentari munculnya istilah ‘Mahkamah Kakak dan Mahmakah Adik’ yang baru-baru viral di media sosial.

Ia menilai kecurigaan masyarakat memang menjadi konsekuensi logis dari tindakan-tindakan selama ini yang dilakukan melalui eksekutif atau yudikatif. Yang mana, cacat, melanggar etik berat, sehingga membuat masyarakat mengasosiasikan ini jadi curiga.

“Sehingga, timbul Mahkamah Kakak (MK), Mahkamah Anak (MA), Menangkan Kakak (MK), Menangkan Adik (MA), muncul berbagai istilah itu, itu konsekuensi, jadi bahan cemoohan di publik, sehingga kita pun malas lah mengomentari kayak gitu-gitu, biar nanti busuk sendiri, ini sudah busuk, cara berhukum kita ini sudah busuk sekarang,” ujar Mahfud.

Menurut Mahfud, kondisi ini membuat dirinya sedikit apatis. Bila tidak bisa dibenarkan, ia bahkan mengatakan agar kondisi ini biar tambah busuk yang pada akhirnya kebusukan itu akan runtuh sendiri suatu saat.

Mahfud mengatakan kondisi seperti ini suatu saat itu bisa akan memukul dirinya sendiri ketika orang lain menggunakan cara yang sama.

“Kebusukkan cara kita berhukum lagi, yang untuk dikomentari sudah membuat mual. Sehingga saya berkata, ya sudahlah. Apa yang kau mau, lakukan saja: merusak hukum,” katanya.

Sejumlah pengamat politik pun mengkritisi putusan ini sarat kepentingan politik bagi putra bungsu Presiden Joko Widodo, yaitu Kaesang Pangarep.

Menurut Mahfud, asumsi itu merupakan konsekuensi logis dari tindakan-tindakan yang sudah dilakukan oleh pemerintah.

Ia berharap, pada pemerintahan berikutnya yang akan dipimpin oleh Presiden terpilih Prabowo Subianto penegakan hukum dapat lebih baik.

“Mudah-mudahan, nanti kalau sudah dilantik Pak Prabowo melakukan perubahan-perubahan yang bagus. Karena (perubahan) ini akan membantu bagi pemerintah kalau hukum itu ditegakkan dengan benar,” kata dia. (YAKUSA.ID/03)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *