News  

Dikritik Soal Migrasi, Menteri Karding Dinilai Lepas Tanggung Jawab Negara

(YKS/IST) ABDUL KADIR KARDING: Menteri Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (PPMI).

YAKUSA.ID Klarifikasi Menteri Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (PPMI) Abdul Kadir Karding yang menyatakan bahwa tugasnya adalah menempatkan pekerja migran secara legal dan bukan menelantarkan WNI, menuai gelombang kritik lanjutan.

Publik menilai pernyataan itu justru menegaskan sempitnya perspektif pemerintah dalam menangani problem migrasi dan pengangguran nasional.

Pernyataan tersebut muncul setelah komentar Karding yang mendorong warga bekerja ke luar negeri sebagai solusi pengangguran viral dan kontroversial.

Di tengah janji besar kampanye 19 juta lapangan kerja, arahan itu dinilai menunjukkan bahwa negara mulai kehilangan kepercayaan terhadap kapasitas domestik dalam menyediakan pekerjaan layak.

Kritik datang dari Jaringan Aktivis Nusantara (JAN). Ketua JAN, Romadhon Jasn, menilai pembelaan Karding memperlihatkan pelepasan tanggung jawab negara terhadap siklus penuh pekerja migran.

“Negara tak cukup hanya menyalurkan. Kalau menterinya bicara seolah tugas selesai saat rakyat berangkat, lalu siapa yang bertanggung jawab ketika mereka disiksa, tidak digaji, atau dipulangkan tanpa keadilan?” ujarnya, Senin (30/6/2025).

Di sisi lain, sistem migrasi nasional masih belum siap. Sepanjang 2024, tercatat lebih dari 1.500 kasus kekerasan terhadap pekerja migran Indonesia di Asia Tenggara dan Timur Tengah.

Hingga kini, belum ada mekanisme terpadu lintas kementerian yang mampu merespons krisis atau menjamin pemulangan yang bermartabat bagi korban.

JAN juga menyoroti belum maksimalnya upaya reformasi kelembagaan yang dijanjikan Menteri PPMI. Menurut Romadhon, program seperti Desa Migran Emas tidak menunjukkan output konkret, sementara usulan atase ketenagakerjaan belum berjalan.

“Yang dibangun baru kerangka program. Tapi yang dibutuhkan adalah perlindungan nyata di lapangan,” ujarnya.

Di lapangan, proses migrasi masih dikeluhkan oleh calon pekerja migran. Biaya pemberangkatan tinggi, digitalisasi belum merata, dan literasi hukum masih rendah di kantong-kantong pengirim migran.

Agen-agen ilegal masih mudah bergerak tanpa pengawasan berarti, menunjukkan lemahnya kontrol negara sejak dari hulu.

Kementrian PPMI sejauh ini bersikap pasif terhadap negara tujuan penempatan.

“Sering kali perjanjian bilateral dilanggar, tapi kita tidak bersikap tegas. Bahkan kasus pemulangan tanpa hak masih terus terjadi,” kata Romadhon.

Ia menilai, diplomasi migrasi seharusnya menjadi medan pengaruh negara, bukan ruang kompromi.

Banyak pihak menilai, alih-alih mendorong warga ke luar negeri, negara semestinya memaksimalkan pembangunan sektor padat karya, reformasi vokasi, serta insentif kerja lokal. Pengangguran tidak bisa diatasi dengan eksodus tenaga kerja, apalagi jika infrastruktur perlindungan belum mapan.

“Kalau negara masih gagal membuktikan bahwa rakyat bisa hidup layak di tanah sendiri, jangan heran jika publik menilai bahwa bukan rakyat yang perlu ke luar negeri, tapi pejabatnya yang perlu dievaluasi,” pungkas Romadhon. (YAKUSA.ID-MH)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *