Health  

Hati-hati dengan Toxic Positivity

Simak Penjelasan Psikolog, Alifia Fajrina Bilqis Kho S.Psi. M. Psikolog

YAKUSA.ID – Apakah kalian pernah mendengar atau mendapat ujaran seperti “jangan menyerah!”, “ayo! kamu pasti bisa!”, “stop berpikir negatif!”, atau “yang sabar ya! aku juga pernah kaya gitu, kok”? Ujaran-ujaran penyemangat tersebut justru mengandung toxic positivity, lho.

Kalian pasti sudah tidak asing lagi dengan istilah toxic positivity, kan? Lalu, apa itu toxic positivity? Yuk kita cari tahu!

Menurut Dr. Jaime Zuckerman, psikolog klinis di Pennsylvania, toxic positivity merupakan asumsi yang muncul, baik dari diri sendiri maupun orang lain, bahwa meskipun seseorang sedang mengalami emosi negatif atau kondisi sulit, mereka harus tetap memiliki pola pikir positif.

Memiliki pikiran positif memang baik untuk kesehatan mental kita. Namun, hidup itu tidak selamanya positif.

Kita pasti akan merasakan emosi-emosi negatif yang terkadang tidak menyenangkan, tetapi perlu dirasakan dan ditangani dengan benar. Jika kita menghindari emosi-emosi negatif tersebut, justru akan berdampak buruk bagi kesehatan mental.

Perasaan negatif tidak selalu buruk karena jika kita mampu jujur pada diri sendiri tentang apa yang kita rasakan, seperti sedih, marah, kecewa, kita justru tahu bagaimana cara menghadapi perasaan-perasaan itu.

Selain itu, kita juga menjadi lebih tahu bantuan seperti apa yang kita butuhkan untuk kesehatan mental kita.

Bagaimana mengenali tanda-tanda toxic positivity? Menurut psikolog Alifia Fajrina Bilqis Kho S.Psi. M. Psikolog, ada beberapa tanda-tandanya.

Berikut tanda-tanda toxic positivity;

1. Menyembunyikan perasaan diri sendiri

2. Merasa bersalah ketika mengungkapkan emosi negatif, seperti sedih atau marah

3. Menghindari atau mengabaikan masalah

4. Mindset positif yang berlebihan

Alifia mengatakan, seorang peneliti asal Denmark, Mette Böll, pernah melakukan eksperimen yang menghadapkan seorang karyawan minimarket pada sebuah situasi sulit.

Hasil eksperimen ini menunjukkan bahwa kondisi paling stres bagi karyawan bukanlah berhadapan dengan pelanggan yang menyebalkan, tetapi bagaimana ia harus berpura-pura terus positif di depan pelanggannya.

“Artinya, toxic positivity dapat berdampak buruk terhadap kesehatan mental yang efeknya bisa dirasakan dalam jangka panjang jika terus-menerus dilakukan,” katanya.

Namun, lanjut Alifia, tidak perlu khawatir jika kalian mengalami tanda-tanda toxic positivity seperti yang sudah disebutkan sebelumnya. Sebab, ada beberapa cara yang dapat dilakukan untuk mengatasinya.

Pertama, mengelola emosi-emosi negatif dan jangan menolaknya. Kedua, berusaha menjadi orang yang bisa memahami perasaan orang lain, bukan menghakimi.

“Kemudian yang ketiga, memberi waktu diri sendiri untuk beristirahat. Dan keempat adalah mengurangi penggunaan sosial media,” ujarnya

Setelah mengetahui apa itu toxic positivity, tanda-tandanya, dampaknya, dan cara mengatasinya, pastikan kalian dapat memahami bahwa menjadi seseorang yang selalu berpikiran positif merupakan hal yang baik, tetapi berpikir positif bukanlah satu-satunya cara yang selalu bisa digunakan untuk menghadapi semua masalah.

Tidak ada manusia yang sempurna dan setiap orang pasti pernah merasa sedih, cemas, dan khawatir dalam menghadapi situasi yang tidak baik. Sama seperti ungkapan “It’s Okay to Not Be Okay”, tidak apa-apa jika kita tidak baik-baik saja.

“Oleh karena itu, istirahatkan fisik dan psikis kalian jika merasa lelah. Menangislah jika ingin menangis dan tertawalah jika ingin tertawa. Jika merasa membutuhkan bantuan, kalian bisa melakukan konsultasi psikologi,” tandasnya. (YAKUSA.ID-01)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *