Oleh: Ila Nur Rosalinda
YAKUSA.ID – Rancangan Undang-Undang (RUU) Tentara Nasional Indonesia (TNI) yang saat ini dibahas di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) menimbulkan kontroversi dan perdebatan sengit di masyarakat. Tujuan dari merevisi Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI untuk penambahan posisi militer aktif di jabatan sipil dianggap sebagai perluasan kewenangan militer dalam sektor sipil, yang dapat merusak sistem meritokrasi dan profesionalisme TNI.
Koalisi masyarakat sipil menilai bahwa penambahan kewenangan ini dapat membuka peluang bagi militer untuk terlibat dalam urusan sipil, yang berpotensi menghidupkan kembali praktik dwifungsi TNI dan mengancam supremasi sipil.
Selain itu, proses pembahasan RUU yang terkesan tertutup semakin memperkeruh suasana. Rapat tertutup yang diadakan oleh Panitia Kerja (Panja) DPR di Hotel Fairmont, Jakarta, pada Maret 2025, memicu protes keras dari aktivis dan masyarakat sipil. Pembahasan di lokasi mewah ini dianggap tidak mencerminkan efisiensi anggaran dan transparansi yang seharusnya dijaga oleh lembaga legislatif. Kritikus menilai bahwa revisi UU TNI berpotensi mengancam demokrasi, meritokrasi, dan supremasi sipil di Indonesia. Mereka berargumen bahwa penempatan prajurit aktif di posisi sipil dapat mengabaikan prinsip profesionalisme Aparatur Sipil Negara (ASN) dan membuka ruang bagi militerisme yang dapat melemahkan demokrasi.
Selain itu, proses pembahasan RUU yang terkesan tertutup semakin memperkeruh suasana. Rapat tertutup yang diadakan oleh Panitia Kerja (Panja) DPR di Hotel Fairmont, Jakarta, pada Maret 2025, memicu protes keras dari aktivis dan masyarakat sipil. Pembahasan di lokasi mewah ini dianggap tidak mencerminkan efisiensi anggaran dan transparansi yang seharusnya dijaga oleh lembaga legislatif.
Pakar politik dan akademisi juga menyoroti bahwa revisi ini bertentangan dengan prinsip reformasi 1998 dan mengarah pada kembalinya dwifungsi ABRI. Mereka menilai bahwa revisi ini akan menghidupkan kembali praktik militerisme Orde Baru, yang berpotensi melanggengkan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) dan mengurangi ruang demokrasi.
Revisi RUU ini memunculkan kekhawatiran mengenai kemungkinan kembalinya militer ke ranah sipil, yang bisa mengganggu stabilitas demokrasi. Banyak yang khawatir bahwa hal ini akan merusak prinsip-prinsip demokrasi dan supremasi sipil yang telah dibangun sejak reformasi, serta memberikan ruang bagi militer untuk kembali mempengaruhi jalannya pemerintahan dan kehidupan politik di Indonesia Pasal-Pasal Kontroversial
Beberapa pasal dalam RUU TNI menuai perhatian besar karena dinilai berpotensi menimbulkan masalah dalam praktiknya. Pasal 7 ayat (2) yang memperluas cakupan operasi militer selain perang (OMSP) mencakup hal-hal seperti penanggulangan narkotika dan ancaman siber, yang memunculkan kekhawatiran bahwa TNI bisa terlibat dalam urusan yang sebenarnya menjadi tanggung jawab instansi sipil. Selain itu, Pasal 47 ayat (2) yang menambah jumlah jabatan sipil yang dapat diisi oleh TNI hingga 16 institusi, termasuk Kejaksaan Agung dan Kementerian Kelautan, turut menjadi sorotan. Kebijakan ini menimbulkan ketidaksetujuan karena dianggap dapat mengarah pada penguatan militerisasi di sektor sipil. Salah satu pasal yang cukup kontroversial adalah Pasal 65, yang memungkinkan prajurit aktif TNI untuk mengisi posisi jabatan sipil di berbagai kementerian dan lembaga pemerintah lainnya. Kebijakan ini dianggap mundur karena membuka peluang bagi militer untuk kembali terlibat dalam urusan sipil. Banyak pihak berpendapat bahwa langkah ini berisiko menghidupkan kembali praktik dwifungsi TNI, yang sebelumnya dihapuskan untuk menjaga jarak antara militer dan politik sipil. Terakhir, Pasal 39 yang mengatur soal disiplin prajurit TNI juga menjadi masalah. Meskipun disiplin adalah aspek penting dalam militer, banyak yang khawatir bahwa aturan disiplin yang diterapkan secara berlebihan berpotensi melanggar hak asasi manusia, mengingat ketatnya pengawasan yang dapat mengarah pada penyalahgunaan kewenangan.Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan menjadi salah satu pihak yang paling vokal menentang revisi RUU TNI. Mereka menilai bahwa substansi RUU masih mengandung pasal-pasal bermasalah yang tidak hanya berpotensi mengancam demokrasi, tetapi juga melanggar prinsip supremasi sipil.
Sebagai bentuk penolakan terhadap revisi tersebut, sejumlah aktivis dari kalangan masyarakat sipil melakukan aksi simbolik dengan memasuki ruang rapat DPR saat pembahasan tengah berlangsung. Mereka mendesak agar DPR menghentikan pembahasan RUU TNI hingga dilakukan kajian lebih mendalam yang melibatkan partisipasi publik.
Banyak yang merasa bahwa pembahasan yang dilakukan secara tertutup dan tanpa partisipasi publik yang cukup hanya semakin memperburuk citra pemerintah dan DPR. Aktivitas ini semakin menunjukkan bahwa masyarakat semakin kritis terhadap proses legislasi yang berlangsung. Sejumlah pengguna media sosial bahkan mengajak orang-orang untuk berpartisipasi dalam aksi protes online, guna memperkuat suara mereka agar DPR lebih mendengarkan aspirasi rakyat. Tagar #TolakRUUTNI bukan hanya sekedar simbol protes, tetapi juga mencerminkan gelombang ketidakpercayaan terhadap kebijakan yang dianggap dapat merusak prinsip demokrasi dan supremasi sipil. Dalam diskusi-diskusi yang berkembang, banyak yang menegaskan pentingnya agar revisi RUU TNI benar-benar dipertimbangkan dengan melibatkan lebih banyak elemen masyarakat serta kajian yang lebih mendalam, untuk menghindari dampak buruk bagi stabilitas politik di tanah air. Oleh karena itu, media sosial menjadi salah satu wadah utama bagi masyarakat untuk menyuarakan protes mereka secara terbuka dan mengajak lebih banyak orang untuk bergabung dalam penolakan ini.
Pengesahan revisi RUU TNI mempunyai dampak serius. Berikut beberapa potensi dampaknya:
1. Kembalinya Dwifungsi Militer
Revisi yang memungkinkan prajurit aktif menduduki jabatan sipil di berbagai kementerian dan lembaga negara berpotensi menghidupkan kembali dwifungsi militer. Hal ini dapat melemahkan pemisahan antara militer dan sipil, yang merupakan prinsip penting dalam demokrasi.
Berita Terbaru Terpopuler Hari ini
2. Melemahnya Supremasi Sipil
Penempatan militer dalam struktur sipil dapat mengurangi kontrol sipil atas militer, sehingga melemahkan supremasi sipil. Kondisi ini bertentangan dengan prinsip demokrasi yang menekankan kontrol sipil terhadap militer.
3. Potensi Pelanggaran Hak Asasi Manusia
Keterlibatan militer dalam urusan sipil dapat meningkatkan risiko pelanggaran hak asasi manusia. Sejarah menunjukkan bahwa keterlibatan militer dalam politik dan pemerintahan seringkali terkait dengan pelanggaran HAM.
4. Stagnasi Karier Militer
Perpanjangan usia pensiun prajurit aktif hingga 65 tahun dapat menyebabkan penumpukan perwira menengah tanpa jabatan, menghambat regenerasi kepemimpinan di tubuh TNI. Kebijakan ini dapat mempengaruhi dinamika internal militer.
5. Erosi Kepercayaan Publik
Proses pembahasan revisi yang dilakukan secara tertutup dan tanpa partisipasi publik yang memadai dapat menurunkan kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah dan DPR. Transparansi dalam proses legislasi penting untuk memastikan akuntabilitas dan legitimasi kebijakan publik.
Penempatan prajurit TNI aktif dalam jabatan sipil dapat mengaburkan batas antara militer dan sipil, yang selama ini dipisahkan untuk menjaga profesionalisme militer dan supremasi sipil. Selain itu, penambahan kewenangan TNI di bidang non-militer, seperti penanganan narkotika dan ancaman siber, dapat mengganggu keseimbangan hubungan sipil-militer dan membuka peluang bagi militer untuk terlibat dalam urusan sipil yang seharusnya menjadi domain pemerintah dan masyarakat sipil.
Proses pembahasan revisi yang dilakukan secara tertutup tanpa melibatkan publik juga menimbulkan kekhawatiran. Hal ini dianggap sebagai bentuk pengabaian terhadap prinsip transparansi dalam legislasi dan dapat menurunkan kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah dan DPR. Oleh karena itu, penting bagi semua pihak untuk mempertimbangkan dengan cermat setiap perubahan yang diusulkan dalam undang-undang ini, guna memastikan bahwa revisi tersebut tidak merusak prinsip-prinsip demokrasi dan supremasi sipil yang telah diperjuangkan sejak reformasi.
*Penulis adalah Mahasiswa Mahasiswi Fakultas Hukum
Universitas Trunojoyo Madura