Mengapa Saya Tidak Lagi Mengejar Banyak Hal

Oleh: Moh. Cholid Baidaie

Ada yang berubah dalam cara saya memandang benda-benda, terutama yang saya miliki. Dulu saya senang mengumpulkan: buku, rencana, impian, bahkan janji-janji yang belum tentu ditepati. Hidup terasa harus penuh agar berarti. Sampai kemudian saya sadar bahwa yang penuh justru kerap membuat sesak. Dan yang lapang, kadang justru datang dari yang sederhana.

Saya punya sepeda motor Honda Supra X, keluaran tahun 2010. Ayah saya membelinya bekas pada 2012, dari orang yang entah dia kenal di mana. Harganya waktu itu pas-pasan, dan kondisi mesinnya tidak sempurna. Tapi ayah saya memilihnya karena, katanya, “Sudah cukup untuk ke kampus.”

Motor itu saya pakai untuk kuliah di STAIN Pamekasan, dari tahun 2013 hingga lulus 2017. Jalanan dari rumah ke kampus saya hafal dengan mata tertutup. Saya tahu kapan harus menyalip, kapan harus membiarkan truk lewat lebih dulu, dan di mana warung pinggir jalan yang menjual es degan paling segar setelah jam mata kuliah akuntansi yang menguras kepala.

Supra X itu bukan sekadar kendaraan. Ia seperti ruang kecil yang merekam banyak hal: tawa, peluh, kadang tangis yang saya tahan di balik helm. Ada orang-orang yang pernah saya bonceng di atas joknya yang bolong. Beberapa di antaranya saya cintai dalam diam. Yang lain pernah saya kira akan saya ajak sampai jauh. Tapi tak semuanya tinggal. Yang tersisa hanyalah kenangan akan suara tawa mereka di tikungan, atau tangan yang menggenggam pinggang saya lebih erat saat jalan berlubang.

Lucunya, saya masih memakai motor itu hingga sekarang. Warnanya mulai pudar, spion sebelah kiri tak asli lagi, dan klaksonnya harus ditekan dua kali sebelum bersuara. Tapi setiap kali saya menyalakannya, ada rasa yang sulit dijelaskan. Seperti menyapa bagian dari diri saya yang dulu—yang naif, penuh harapan, dan sangat percaya pada hal-hal kecil.

Teman saya pernah bertanya, “Kenapa kamu nggak ganti motor aja? Kan sekarang udah kerja.”

Saya hanya tersenyum. Saya tidak tahu harus mulai dari mana menjelaskan bahwa ada barang-barang yang, meskipun terlihat usang, justru mengingatkan saya untuk tidak berlebihan. Motor itu, dalam diamnya, mengajari saya tentang cukup.

Kita hidup di zaman yang sibuk mengajak kita mengejar: karier lebih tinggi, gaji lebih besar, rumah lebih luas, tubuh lebih ramping, hidup lebih “benar”. Tapi saya mulai menyadari bahwa semua itu, kalau tak diimbangi dengan jeda, hanya akan membuat kita lelah tanpa sempat merasa hidup.

Saya tidak anti kemajuan. Saya tidak membenci kenyamanan. Tapi saya belajar untuk tidak lagi mengejarnya mati-matian. Dulu saya sering memaksa diri—bekerja lebih keras, berpikir lebih cepat, bahkan mencintai lebih dalam—seolah kalau tidak begitu, saya akan ketinggalan. Tapi nyatanya, saya kehilangan terlalu banyak: waktu bersama ibu, kesempatan ngobrol lama dengan adik, bahkan saat-saat sendiri yang dulu saya nikmati tanpa distraksi.

Suatu sore, saya duduk sendirian di teras rumah. Motor itu terparkir miring, seperti biasa. Dan entah kenapa saya merasa terharu melihatnya. Saya ingat betapa motor itu pernah mogok di tengah hujan, dan saya menuntunnya sejauh satu kilometer. Saya ingat ketika saya dan seorang perempuan yang saya sayangi kala itu, kehujanan di perjalanan pulang, lalu tertawa basah-basahan sampai perut sakit. Kami tidak punya jas hujan. Tapi kami punya waktu dan keberanian untuk tidak mempermasalahkan basah.

Sekarang, bahkan sebelum hujan datang, kita sudah sibuk cari perlindungan. Kita takut kotor, takut lambat, takut dianggap tidak punya apa-apa. Kita lupa bahwa tidak semua harus dikejar. Beberapa hal cukup untuk dinikmati, dijalani, dan disyukuri.

“It is not the man who has too little, but the man who craves more, that is poor,” kata filsuf Stoik, Seneca. Bukan orang yang punya sedikit yang miskin, tetapi yang terus merasa kurang. Kutipan ini saya baca pertama kali di postingan facebook seorang teman. Dulu saya tak terlalu memikirkannya. Tapi sekarang, kalimat itu seperti gema yang tak habis-habisnya mengingatkan saya.

Ada satu malam yang tak pernah saya lupa. Saat itu saya baru pulang dari kampus setelah menyelesaikan sidang skripsi. Saya parkir motor di samping rumah, lalu duduk lama di atas joknya. Gelap, sepi. Saya tidak menangis, tidak pula tertawa. Hanya diam. Tapi dalam diam itu, saya merasa seluruh perjalanan hidup saya selama empat tahun bergema pelan: dari pagi-pagi berkabut menuju kelas, siang yang panas saat dompet kosong, sampai senja-senja saat saya diam-diam jatuh cinta lagi dan lagi, hanya untuk belajar melepaskan.

Motor itu tidak pernah tahu ia menyimpan semua itu. Tapi saya tahu, dan saya tidak ingin melupakannya.

Sekarang, saya mulai hidup lebih ringan. Saya tidak lagi sibuk mengisi lemari. Saya belajar membiarkan rak buku berisi separuh. Saya tidak panik jika ponsel saya tidak ramai notifikasi. Saya menikmati sunyi yang dulu saya anggap ancaman.

Saya memilih sedikit, agar bisa lebih penuh hadir.

Saya tahu gaya hidup seperti ini mungkin dianggap aneh di mata banyak orang. Tapi saya merasa damai. Dan saya percaya, damai adalah kemewahan yang paling mahal saat ini. Lebih mahal daripada motor baru, lebih sunyi dari tawa palsu di media sosial.

Dan motor itu, Honda Supra X keluaran 2010 yang dibeli bekas oleh ayah saya, masih saya rawat dengan hati-hati. Karena ia bukan sekadar alat gerak. Ia adalah penanda waktu. Ia menyimpan versi diri saya yang dulu: muda, canggung, rapuh, tapi punya semangat yang tak bisa ditukar dengan mesin injeksi apapun.

Kalau suatu hari nanti motor itu benar-benar tak bisa dinyalakan lagi, saya tidak akan langsung membuangnya. Mungkin akan saya biarkan di garasi, seperti menaruh bingkai kenangan di dinding. Tidak bergerak, tapi tetap hidup dalam kepala saya.

Saya tidak lagi mengejar banyak hal. Karena saya tahu, yang benar-benar berarti tidak pernah jauh dari kita. Kadang ia justru berada di belakang punggung, menempuh jalan yang sama, pelan-pelan, tanpa suara.

Dan saya belajar, bahwa bahagia bisa sesederhana menyusuri jalan pulang, dengan angin sore yang menggigit pelan, dan suara knalpot yang tak lagi nyaring, tapi tetap jujur.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *