YAKUSA.ID – Ketua Umum SOKSI periode 2020-2025, Ahmadi Noor Supit, secara resmi mengumumkan pengunduran dirinya dalam Musyawarah Nasional (Munas) XII SOKSI, Selasa (20/5/2025).
Ahmad Noor Supit berharap kepemimpinan SOKSI untuk lima tahun ke depan dipegang oleh anak muda agar gerak organisasi menjadi lebih cepat dan dinamis.
“Pimpinan SOKSI 2025-2030 harus dipimpin oleh anak muda supaya bisa mendampingi Ketua Umum Bahlil Lahadalia untuk berlari cepat,” ujarnya.
Namun, harapan mulia itu seolah menjadi sandiwara yang sudah biasa dipentaskan. Pasalnya, pengurus baru yang terpilih masih didominasi oleh wajah-wajah lama yang sudah akrab dengan kursi kekuasaan.
Mukhamad Misbakhun, politisi senior yang sudah lama berkecimpung di dunia legislatif, kembali dipercaya memimpin SOKSI. Jadi, anak muda yang katanya akan “berlari cepat” justru hanya menjadi penonton di tribun.
Tepuk tangan meriah yang menggema saat pengumuman pemimpin baru tampak lebih seperti tepuk tangan untuk sebuah drama simbolis.
Anak muda yang diharapkan menjadi motor perubahan, hanya menjadi hiasan panggung yang dipanggil sekali-sekali untuk memberi kesan hidup.
Namun, ketika lampu sorot padam, struktur organisasi tetap berjalan dengan ritme lama yang lambat dan penuh rutinitas.
Ical Berhed, Wakil Ketua Jaringan Aktivis Nusantara, mengkritik keras situasi ini. Menurutnya, SOKSI seperti sedang bermain sandiwara “regenerasi” yang sudah basi.
“Kalau pengurusnya masih ‘tha-tha’ alias itu-itu saja, jangan harap ada perubahan signifikan. Anak muda hanya jadi pajangan, bukan pemimpin sungguhan,” katanya dengan nada sinis.
Lebih jauh, Ical menegaskan bahwa regenerasi bukan soal mengganti wajah lama dengan wajah muda yang hanya sebagai simbol. Regenerasi sejati harus melibatkan perubahan pola pikir, strategi, dan keberanian mengambil risiko.
Sayangnya, SOKSI tampak masih terjebak dalam zona nyaman yang membuatnya sulit berlari cepat seperti yang diharapkan Supit.
Misbakhun sendiri mengaku siap menjalankan amanah yang diberikan, namun ia juga menyadari tantangan besar yang harus dihadapi.
Tantangan itu bukan hanya soal memimpin, tapi juga membuktikan bahwa anak muda benar-benar diberi ruang untuk berkontribusi, bukan hanya sebagai pelengkap dalam struktur lama.
Sementara itu, Supit mengapresiasi antusiasme kader muda yang hadir dalam Munas. Namun, fakta bahwa pucuk pimpinan masih diisi oleh figur lama membuat pertanyaan besar tentang konsistensi komitmen terhadap regenerasi.
Kondisi ini menjadi ironi tersendiri. Organisasi yang mengaku ingin mempercepat gerak dengan anak muda, justru memilih pemimpin yang sudah lama berkutat dalam politik.
Seolah-olah, anak muda hanya boleh berlari di tempat, sementara yang “berlari cepat” adalah mereka yang sudah berlari di lintasan lama selama bertahun-tahun.
Ical menilai bahwa regenerasi yang hanya sebatas seremoni tanpa perubahan nyata hanya akan membuat organisasi kehilangan relevansi.
Anak muda yang hanya diberi panggung tanpa peran strategis, sama saja dengan memberi mereka boneka yang tidak bisa bergerak sendiri.
Munas XII SOKSI juga membentuk Tim Formatur yang dipimpin Misbakhun untuk menyusun struktur pengurus baru.
Harapannya, tim ini dapat membuka ruang lebih luas bagi anak muda dan membawa perubahan yang lebih progresif. Namun, skeptisisme tetap ada mengingat pola lama yang sulit diubah.
Jika SOKSI ingin benar-benar berlari cepat dan relevan dengan zaman, maka bukan hanya wajah yang harus berganti, tapi juga cara berfikir dan keberanian mengambil langkah baru.
Jika tidak, SOKSI hanya akan menjadi organisasi yang sibuk dengan acara seremonial tanpa makna perubahan yang sesungguhnya. (YAKUSA.ID-HS)