Oleh: Moh. Cholid Baidaie
Beberapa orang datang ke dalam hidup kita seperti cuaca yang tak bisa kita tebak. Kadang hanya lewat sebentar, kadang menetap tanpa rencana. Ansori Alfan adalah salah satu dari sedikit orang yang hadir dan tinggal, bukan karena kebetulan, tapi karena sesuatu yang lebih tenang dari itu: kesetiaan yang tak banyak bicara.
Kami bertemu pertama kali di kampus STAIN Pamekasan—kini sudah berganti nama menjadi UIN Madura. Kami tidak satu jurusan: saya di ekonomi, dia di pendidikan. Tapi organisasi membuat kami akrab. Kami sama-sama masuk HMI, komisariat STAIN, tahun 2013. Waktu itu, dunia kami masih sederhana. Kami percaya bahwa rapat malam-malam bisa mengubah dunia, bahwa diskusi panjang bisa membentuk sejarah, dan bahwa idealisme bisa bertahan lebih lama dari nasi jagung dingin tanpa lauk di sekretariat.
Ansori lebih tua dari saya. Ia lahir tahun 1993. Tapi usianya tak pernah membuat kami jaga jarak. Dia tipe orang yang selalu datang lebih dulu ke forum, duduk tenang, lalu baru bicara setelah semua suara lain habis. Dalam keramaian, dia diam; dalam keheningan, dia bicara. Dan suaranya pelan, seperti air mengalir.
Ada satu hal tentang Ansori yang selalu saya ingat. Dia tidak pernah terburu-buru—dalam apa pun. Termasuk dalam urusan yang paling sering membuat kita gelisah di usia dewasa: menikah.
Saya sudah lulus sejak 2017. Beberapa teman kami sudah menikah, punya anak, bahkan ada yang bercerai dan menikah lagi. Tapi Ansori tetap sendiri. Kadang saya menggoda: “Kau kan tahu hadis Nabi itu: Annikahu sunnati, faman roghiba an sunnati falaisa minni. Menikah itu sunnahku, barang siapa tidak suka dengan sunnahku, maka dia bukanlah golongan kami.”
Dia hanya tersenyum. Tak membantah, tapi juga tak menjelaskan. Seperti biasa, jawabannya datang dalam bentuk lain—barangkali dalam cara dia mengirim doa lewat status WA, atau dalam caranya menasihati adik-adik tingkat yang gelisah karena belum dapat jodoh.
Suatu kali, dalam obrolan di beranda masjid kampus, saya bertanya padanya, “Kau ini menunggu siapa, Ri? Atau menunggu apa?” Ia menatap jauh, lalu menjawab, “Kadang kita bukan menunggu seseorang. Kita hanya sedang menunggu hati kita sendiri jadi lebih siap.”
Jawaban itu terdengar seperti kutipan dari seorang filsuf Timur Tengah. Tapi itu keluar dari mulut Ansori—yang saya tahu bukan tipe yang larut dalam kitab kuning, meski ia mahasiswa penerima beasiswa. Ia tidak hidup di antara dua kutub: tradisi dan modernitas, zikir dan diskusi. Ia memilih jalannya sendiri—kadang terasa canggung, kadang mengagetkan, tapi selalu jujur pada apa yang ia yakini saat itu.
Ada yang bilang, kita ini generasi cemas. Semua hal harus cepat. Lulus cepat, kerja cepat, menikah cepat, punya rumah cepat. Tapi mungkin kita lupa bahwa hidup bukan lomba lari. Ia lebih mirip perjalanan naik sepeda tua di jalan kampung. Kadang melambat, kadang berhenti sebentar untuk mengamati pohon. Kadang kita berhenti bukan karena capek, tapi karena ingin menikmati aroma sore.
Kata filsuf Stoik, Epictetus: “No great thing is created suddenly.” Tidak ada yang besar tercipta seketika. Termasuk pernikahan. Termasuk cinta. Mungkin Ansori memahami itu lebih dalam daripada kami yang terburu-buru masuk pelaminan, lalu sesekali memikirkan jalan keluar.
Ada hal-hal yang tak bisa dipaksa. Seperti bunga yang tak mau mekar lebih awal meski kita siram tiap hari. Seperti doa yang tak langsung terkabul meski kita sudah sujud lebih dalam. Dan seperti hati manusia—yang punya waktu tumbuhnya sendiri.
Ansori tidak pernah mengatakan bahwa ia menolak menikah. Ia tahu betul sabda Nabi, dan mungkin lebih hafal daripada saya. Tapi ia juga tahu bahwa menikah bukan hanya soal menaati sunnah. Ia soal kesiapan, soal saling memikul beban, soal mendewasa bersama seseorang. Dan mungkin, dalam diamnya itu, Ansori sedang bersiap lebih dalam dari kami.
Beberapa orang menikah untuk melengkapi hidupnya. Yang lain menikah untuk melarikan diri dari sepi. Tapi ada juga yang memilih sendiri, bukan karena menolak cinta, tapi karena belum menemukan bentuk cinta yang bisa dijaga. Tidak semua cinta bisa dipelihara. Ada cinta yang hanya datang sekedar untuk mengajarkan kita arti kehilangan.
Saya pernah lihat Ansori tertawa lebar. Tapi saya juga pernah melihat matanya kosong setelah salat Maghrib, di mushollah kampus. Mungkin ia sedang mengingat seseorang. Mungkin dia juga pernah mencintai dan ditinggalkan. Tapi dia tidak pernah bercerita. Dia menyimpan banyak hal, seperti musim menyimpan hujan.
Kalau ditanya apa yang saya pelajari dari Ansori, mungkin ini: bahwa menjadi lambat bukan berarti tertinggal. Bahwa tidak menikah di usia tiga puluh-an bukan berarti kita gagal. Bahwa memilih sendiri bukan berarti anti pernikahan. Kadang, kita hanya ingin memastikan bahwa ketika kita memberi hati, ia akan dijaga, bukan sekadar disambut.
Dalam hidup, kita tidak selalu perlu mengejar. Kadang kita cukup menunggu. Bukan menunggu seseorang datang dalam bentuk ideal, tapi menunggu waktu tepat untuk menjadi versi terbaik dari diri sendiri. Karena menikah, seperti ibadah lain, butuh keikhlasan. Dan keikhlasan itu tak selalu datang cepat.
Saya tidak tahu apakah Ansori akan menikah tahun ini, atau lima tahun lagi. Saya juga tidak tahu siapa yang akan menemaninya nanti. Tapi saya yakin, siapa pun itu, dia akan sangat beruntung. Karena laki-laki yang bisa menunggu dengan tenang, juga akan mencintai dengan tenang.
Dalam dunia yang bising ini, orang seperti Ansori adalah sunyi yang menyejukkan. Ia bukan orang yang menabuh genderang agar diperhatikan. Tapi ia selalu hadir saat dibutuhkan, selalu tulus tanpa banyak basa-basi. Dan mungkin itu yang membuatnya istimewa.
Menikah bukan perlombaan. Ia adalah perjanjian. Sebuah perjalanan panjang. Dan hanya mereka yang sabar yang bisa menjalaninya dengan damai. Sebagaimana sabda Nabi yang lain: “Perempuan dinikahi karena empat perkara… pilihlah karena agamanya, niscaya engkau akan beruntung.” Barangkali laki-laki pun serupa. Dipilih bukan karena tampan atau tajir, tapi karena sabarnya menjaga diri.
Malam ini, saya membuka chat lama kami. Foto-foto kegiatan HMI, diskusi tentang filsafat Islam, keluhan tentang skripsi, dan candaan soal jodoh yang tak kunjung datang. Semua itu membuat saya tersenyum. Kami telah berjalan cukup jauh dari masa itu. Tapi persahabatan kami tetap tinggal, seperti debu di sepada motor yang tak pernah benar-benar hilang.
Kita semua sedang menunggu sesuatu: cinta, jawaban, atau diri kita yang lebih matang. Dan selama itu, kita belajar bahwa menunggu, jika dijalani dengan niat baik, juga bisa menjadi ibadah.
Dan Ansori mengajari saya itu—tanpa banyak kata.