Yang Bertahan di Antara Kenangan

Oleh: Oleh: Moh. Cholid Baidaie

Siang itu, saya mendapat kiriman link di gurp obrolan whatsapp yang berisi sebuah tulisan berjudul Seorang Teman dan Pikirannya yang Belum Selesai. Ditulis dengan hangat, tapi juga mengandung gugatan halus yang menyentuh. Ada potongan kenangan, ada tafsir atas masa lalu, dan ada satu sosok yang terasa akrab: saya.

Seseorang yang disebut dalam cerita itu, dalam fragmen yang entah disusun dari ingatan atau kesan semata. Saya membaca pelan, menyusuri kalimat-kalimatnya, lalu berhenti pada satu titik dan berkata dalam hati: tidak semuanya benar.

Bukan karena marah. Bukan juga karena ingin membantah. Tapi karena setiap narasi—bahkan yang ditulis dengan niat baik—selalu mengandung ruang kosong yang tak terisi oleh kenyataan. Mungkin karena penglihatan yang terbatas, atau karena perasaan yang belum selesai. Dan saya ingin mengisi ruang kosong itu, bukan untuk mengoreksi, tapi untuk melengkapi. Untuk menjawab, dengan cara yang tenang dan manusiawi.

Di banyak tempat, orang-orang hidup seperti sedang menunda sesuatu. Mereka menyusun hari-harinya dengan baik: bekerja, makan cukup, tidur sesuai jadwal. Tapi di balik itu semua, ada bagian dari hidup yang tak mereka sentuh. Seperti satu laci yang sengaja tak dibuka, karena isinya terlalu dalam untuk dirapikan.

Mungkin itulah yang terjadi pada sebagian orang. Mereka yang memilih bertahan dalam kesendirian bukan karena tidak bisa mencintai, melainkan karena terlalu lama mencintai yang tak sempat selesai.

Satu nama muncul di ingatan. Seorang laki-laki, yang tidak pernah terlalu berisik dalam pergaulan. Tapi kalau bicara, selalu seperti menyampaikan sesuatu yang lebih luas dari sekadar kalimat. Ia tidak keras kepala, tapi pendiriannya kokoh. Seolah ada sesuatu di dalam dirinya yang lebih tua dari tubuhnya sendiri.

Banyak yang bertanya—kenapa ia belum menikah? Padahal tak ada yang benar-benar menghalangi. Usianya cukup, penghasilannya layak, dan lingkaran pertemanannya luas. Tapi seperti ada tali tak kasatmata yang menahannya pada satu waktu: masa lalu yang belum dilepas, atau mungkin seseorang yang belum benar-benar pergi dari pikirannya.

Orang-orang mengenalnya sebagai sosok yang tekun. Ia membaca dengan sabar, menulis dengan tenang, dan berpikir dalam. Tapi di sela-sela itu semua, ada satu kekosongan kecil yang kadang muncul di matanya. Terutama ketika pembicaraan beralih ke soal rumah tangga, cinta yang berlanjut, atau anak-anak yang lucu. Ia diam, tapi bukan karena tak punya pendapat. Ia diam karena barangkali hatinya masih tinggal di suatu tempat.

Ada desas-desus—tentang seorang perempuan yang dulu selalu bersamanya. Teman duduk di mading, teman makan di kantin koperasi, teman dalam banyak forum yang tak semuanya tercatat. Mereka tidak pernah mengumumkan apa pun. Tapi ada yang melihatnya, ada yang merasakannya. Keduanya seperti kalimat majemuk yang tak perlu tanda baca.

Perempuan itu kini kabarnya sudah menikah. Sudah menjalani hidup dengan orang lain, mungkin sudah menjadi ibu. Tapi tidak semua perpisahan membuat perasaan ikut bubar. Ada yang tetap tinggal, meski tidak lagi bisa diperjuangkan.

Kita semua punya kenangan. Tapi tidak semua orang tinggal di dalamnya.

Beberapa memilih menoleh sebentar, lalu melanjutkan langkah. Yang lain menetap di dalamnya terlalu lama, sampai-sampai lupa bagaimana caranya berjalan lagi. Apakah itu salah? Tidak ada yang bisa mengatakan begitu. Tapi hidup, dalam bentuknya yang paling dasar, selalu menuntut keberanian: untuk mencintai lagi, untuk kecewa lagi, untuk berharap lagi.

Filsuf Albert Camus pernah menulis bahwa “Manusia lebih banyak mati karena kebiasaan daripada karena penderitaan.” Kebiasaan menunda, kebiasaan memelihara keraguan, kebiasaan bertahan dalam sesuatu yang tidak berkembang—semuanya bisa menjadi bentuk kematian yang tidak terlihat.

Beberapa orang mungkin tidak menikah bukan karena trauma, bukan juga karena idealisme. Mereka hanya belum menemukan alasan yang cukup kuat untuk melepaskan masa lalu. Padahal, dalam banyak hal, kehidupan baru justru mulai ketika seseorang rela menutup pintu yang lama. Bukan dengan membenci, tapi dengan mengikhlaskan bahwa cinta yang tidak bertumbuh hanya akan menjadi beban.

Hidup tidak harus dipenuhi dengan kebisingan. Tapi juga jangan terlalu lama diam. Karena waktu tidak menunggu siapa pun. Dan kebahagiaan tidak selalu datang dua kali dalam bentuk yang sama.

Dalam esai yang ditulis tentangnya, ia disebut sebagai seseorang yang “belum selesai.” Mungkin itu benar. Tapi siapa di antara kita yang sudah benar-benar selesai?

Setiap orang membawa versi kecil dari dirinya yang dulu. Dan tidak semua dari kita berhasil menjemputnya kembali. Tapi setidaknya, kita bisa memulai perjalanan—sekali lagi—dengan menyadari bahwa hidup bukan hanya tentang apa yang pernah kita miliki, tapi juga tentang apa yang masih bisa kita bentuk.

Jika yang ditunggu tidak kembali, barangkali memang kita yang harus melangkah. Bukan untuk melupakan, tapi untuk mengingat dengan cara yang baru. Untuk mencintai dengan keberanian yang berbeda. Untuk hidup, bukan hanya sebagai sisa dari masa lalu, tapi sebagai kemungkinan dari masa depan.

Beberapa orang datang ke dunia ini untuk mengajarkan arti kehilangan. Yang lain datang untuk menjadi rumah. Tapi ada pula yang datang hanya untuk menunjukkan bahwa kita masih bisa merasa. Dan itu sudah cukup.

Bagi mereka yang masih memilih sendiri, mungkin saatnya bertanya kembali—apa yang sebenarnya sedang ditunggu? Apakah kenangan itu masih tumbuh? Ataukah hanya menjadi pohon tua yang daunnya jatuh satu per satu tanpa pernah disadari?

Tidak ada jawaban pasti. Tapi barangkali, yang paling manusiawi dari kita adalah keberanian untuk menyadari: bahwa bertahan juga butuh alasan. Dan kalau alasan itu sudah tidak ada, maka waktunya berjalan. Pelan-pelan. Tapi tetap berjalan.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *