Menjadi Santri di Zaman Guncang: Antara Mutolaah dan TikTok

Oleh Moh. Cholid Baidaie

Ada satu masa dalam hidup saya yang tak pernah benar-benar bisa saya pahami, tapi juga tak bisa saya lepaskan. Masa itu berjarak antara 2009 hingga 2013, dan tempatnya adalah sebuah pondok pesantren di ujung timur pulau Jawa: Nurul Jadid, Paiton, Probolinggo. Di antara suara nadzom yang mengalun dari serambi mushala dan aroma kayu yang hangus dibakar di pagi hari, saya tinggal di sebuah wilayah yang—oleh para santri—dikenal dengan nama Djalaluddin Ar-Rumi.

Hidup di pesantren pada waktu itu bukan hidup yang mewah, bukan pula hidup yang keras dalam pengertian perkotaan. Tapi ia punya kekhususan: keheningan, kesederhanaan, dan perasaan bahwa waktu berjalan lebih lambat dari dunia luar. Kami bangun saat langit masih biru gelap, tubuh masih separuh mimpi, lalu berbaris menuju masjid atau mushala. Kadang dengan sarung yang masih melilit separuh pinggang, kadang dengan mata yang tak sepenuhnya terbuka. Kadang kami hanya berjalan karena itulah satu-satunya hal yang pasti di pagi hari: bangun, wudhu, mengaji.

Santri hidup dalam repetisi: ngaji, sekolah, makan, ngaji lagi, dan istirahat. Tapi dalam repetisi itulah justru kita menemukan ritme kehidupan yang membebaskan dari kekacauan dunia. Kami tak punya akses ke dunia digital seperti hari ini. Smartphone belum seperti sekarang, dan sinyal Wi-Fi tak pernah sampai ke asrama. Kami hidup dalam dunia yang lebih kecil, tapi juga lebih tenang. Tidak ada notifikasi. Tidak ada FYP. Tidak ada kegelisahan karena kita belum menjadi siapa-siapa.

Kadang saya bertanya-tanya, apakah kami lebih beruntung karena tumbuh tanpa cermin digital itu? Atau barangkali justru kehilangan sesuatu? Entahlah. Dunia tak pernah memberi jawaban seratus persen.

Sekarang, dua belas tahun setelah saya tamat dari Nurul Jadid, saya kadang membayangkan: bagaimana rasanya menjadi santri di zaman sekarang, ketika segala sesuatu bisa direkam, dibagikan, dan diukur dengan jumlah suka dan komentar? Bagaimana jadinya ketika zikir dan mutolaah bersaing dengan video viral dan tantangan TikTok?

Saya membayangkan seorang santri hari ini membuka ponselnya setelah mengaji kepada Kiai Zuhri Zaini—sosok yang tutur katanya tenang tapi tajam menusuk batin—lalu menemukan bahwa temannya baru saja mengunggah video dakwah singkat berdurasi 30 detik yang sudah ditonton dua ratus ribu orang. Atau seorang santri putri yang diam-diam merekam momen makan bersama di dapur pondok, lalu menambahkan backsound lagu trending.

Apakah itu bagian dari ekspresi zaman? Atau gangguan yang membuat zikir jadi sekadar formalitas belaka?.

Tentu saya tidak ingin terjebak dalam nostalgia yang membatu. Dunia berubah, dan pesantren juga ikut bergerak. Saya tahu, banyak pesantren kini justru memanfaatkan media sosial sebagai jalan dakwah. TikTok, Instagram, YouTube—semuanya bisa menjadi ladang amal jika digunakan dengan niat dan cara yang baik. Tapi saya juga tahu bahwa tidak semua perubahan membawa kebaikan, dan tidak semua yang viral mengandung hikmah.

Ada yang berubah dari wajah santri hari ini. Mereka lebih fasih teknologi, lebih peka tren, dan mungkin lebih percaya diri tampil di depan kamera. Tapi saya khawatir jika semua itu menggantikan sesuatu yang pelan-pelan hilang: keikhlasan yang diam.

Keikhlasan yang dulu saya lihat pada teman saya yang diam-diam merapikan sandal santri lain yang berserakan di serambi mushala saat rutinan ngaji kitab, seperti merapikan batinnya sendiri. Atau pada seorang santri tua yang mengulang-ulang satu ayat Al-Qur’an dengan suara gemetar, bukan karena ingin didengar, tapi karena ia merasa belum cukup paham.

Menjadi santri di zaman sekarang berarti hidup di antara dua dunia: satu yang sunyi dan satu yang riuh. Di satu sisi ada mushala kecil dengan rak penuh kitab kuning, di sisi lain ada layar ponsel yang tak pernah mati. Di satu sisi ada malam-malam yang diisi dengan mutolaah, di sisi lain ada malam-malam yang habis karena scroll video lucu atau debat politik. Keduanya hidup berdampingan, kadang saling menenggelamkan.

Tapi saya percaya, pesantren masih punya kekuatan untuk menjaga jiwanya. Sebab lebih dari sekadar lembaga pendidikan, pesantren adalah ruang tafakur. Ia bukan hanya tempat mencari ilmu, tapi juga tempat belajar menerima hidup apa adanya. Kita tidak selalu paham mengapa harus belajar Nahwu Shorof bertahun-tahun tanpa pernah menggunakannya secara langsung. Tapi dari pelajaran itulah kita belajar sabar. Kita tidak selalu mengerti mengapa harus membersihkan kamar mandi setiap malam Jumat. Tapi dari tugas itulah kita belajar membersihkan diri—dalam arti yang sesungguhnya.

Saya teringat satu malam di tahun 2010, ketika kami harus menguras tempat penampungan WC dengan tangan kami sendiri—bau yang menyengat, rasa mual yang nyaris tak tertahankan. Tapi entah mengapa, justru dari situ saya belajar makna kerendahan hati: bahwa ada jenis kebersihan yang hanya bisa dicapai dengan menyingkirkan ego, dan tidak semua yang menjijikkan itu jauh dari kesucian.

Apa yang membuat momen seperti itu terasa begitu utuh? Saya rasa karena ia hadir tanpa niat untuk dibagikan. Ia tidak dibuat untuk penonton, tapi untuk Allah. Dan barangkali, itulah esensi dari menjadi santri: melakukan sesuatu tanpa perlu diberi tahu, tanpa perlu dinilai. Hanya karena memang harus.

Hari ini, ketika menjadi viral bisa lebih penting dari menjadi baik, saya harap pesantren tetap menjadi ruang untuk menumbuhkan yang sebaliknya. Bahwa tidak apa-apa jika kita tidak terkenal. Bahwa tidak masalah jika kebaikan kita tidak diketahui siapa pun. Karena dalam kesunyian itu, justru keikhlasan tumbuh paling kuat.

Tentu, santri hari ini tetap bisa berselancar di dunia digital. Mereka bisa menulis puisi di blog, membuat video dakwah, atau membuat podcast tentang kitab kuning. Tapi semoga semua itu lahir dari ruang tafakur, bukan dari kegelisahan ingin dikenal. Semoga ketika mereka membuka kamera depan ponsel, mereka tetap ingat wajah guru mereka yang mengajarkan bahwa niat adalah segalanya.

Menjadi santri di zaman guncang bukanlah hal yang mudah. Tapi justru karena itulah, ia menjadi lebih penting. Dunia butuh lebih banyak orang yang bisa diam di tengah riuh, yang bisa memilih membaca Fathul Qorib ketika orang lain memilih membuka video prank. Dunia butuh mereka yang bisa menunda keinginan instan, dan tetap percaya bahwa ilmu akan membuka jalan meski pelan.

Dan barangkali, sunyi adalah bahasa yang hanya bisa dibaca oleh mereka yang pernah duduk lama di atas tikar, mengulang satu ayat yang sama selama sepekan.

Pesantren—dengan segala ketidaksempurnaannya—masih menyimpan benih-benih itu. Dan saya percaya, meski bentuknya berubah, ruhnya tetap sama. Selama masih ada satu santri yang bersujud dalam gelap, sambil mengulang-ulang satu ayat dengan pelan dan takut, selama itu pula harapan masih hidup.

Dan mungkin, suatu hari nanti, saat santri-santri itu telah pulang ke kampung halaman mereka, menikah, bekerja, membesarkan anak, mereka akan mengingat: bahwa dulu, di suatu tempat bernama pesantren, mereka pernah belajar bagaimana menjadi manusia yang tidak gelisah jika tidak terlihat, dan tidak takut untuk tinggal diam saat dunia terus berlari.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *