YAKUSA.ID – Penetapan Tian Bahtiar dan M. Adhiya Muzakki sebagai tersangka oleh Kejaksaan Agung dalam kasus dugaan perintangan penyidikan menuai perhatian publik. Untuk pertama kalinya, aktivitas buzzer di media sosial dijerat menggunakan Pasal 21 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Tian, mantan Direktur Pemberitaan JAK TV, diduga memproduksi narasi negatif terhadap Kejaksaan Agung, sementara Muzakki mengoordinasikan lebih dari 150 akun media sosial dengan aliran dana sebesar Rp864,5 juta. Aktivitas mereka disebut berkaitan dengan upaya mengganggu penyidikan tiga perkara besar: tata niaga timah, impor gula, dan ekspor minyak goreng.
Tuduhan perintangan penyidikan ini menandai perluasan tafsir hukum terhadap aktivitas digital. Namun, sejumlah pihak mempertanyakan dasar tuduhan tersebut. Tanpa bukti yang menunjukkan adanya tekanan terhadap saksi, penyidik, atau penghilangan alat bukti, dakwaan ini dinilai berisiko menjadi bentuk kriminalisasi terhadap kebebasan berekspresi.
Aktivis Nusantara Romadhon Jasn menyebut bahwa perkara ini sebagai ujian serius bagi demokrasi digital di Indonesia. “Penegakan hukum yang tidak transparan justru bisa membungkam kritik publik, terutama di platform media sosial,” ujarnya, Kamis (8/5/2025).
Secara yuridis, Pasal 21 UU Pemberantasan Korupsi mewajibkan adanya unsur kesengajaan untuk menggagalkan proses penyidikan. Namun, dalam konteks digital, batas antara opini, kritik, dan perintangan belum memiliki definisi hukum yang jelas.
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 105/PUU-XXII/2024 yang menegaskan perlindungan terhadap kritik atas institusi negara dari jeratan UU ITE menjadi catatan penting. Meski demikian, penggunaan UU Tipikor terhadap aktivitas buzzer membuka celah baru yang berpotensi menyasar kebebasan digital.
“Kasus ini bisa menjadi preseden hukum. Jika tidak dikawal, ia dapat dipakai sebagai alat membungkam pihak yang dianggap mengganggu narasi institusi negara,” ujar Romadhon.
Dia menyerukan pentingnya regulasi transparansi dana kampanye digital dan pelabelan konten berbayar, guna mencegah penyalahgunaan ruang digital tanpa membatasi kebebasan warga negara untuk bersuara.
Untuk menjamin akuntabilitas, Kejaksaan Agung didesak membuka bukti-bukti spesifik, seperti penyebaran hoaks atau gangguan nyata terhadap proses penyidikan. Sementara itu, platform media sosial juga diminta berperan aktif dalam mendeteksi dan mengklasifikasi konten berbayar.
“Literasi digital harus menjadi agenda bersama, agar masyarakat tidak terjebak dalam narasi manipulatif,” tegas Romadhon.
Kasus ini menjadi cermin bagi Indonesia dalam merumuskan arah hukum digital yang adil, menjaga semangat demokrasi tanpa mengorbankan prinsip keadilan. (YAKUSA.ID-HS)