News  

Vasektomi Syarat Bansos Adalah Kebijakan Brutal, Menabrak Konstitusi dan Nurani Publik

Direktur Gagas Nusantara, Romadhon Jasn.

YAKUSA.ID Direktur Gagas Nusantara, Romadhon Jasn, menyatakan penolakan keras terhadap wacana Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi, yang menjadikan vasektomi sebagai syarat menerima bantuan sosial (bansos) bagi pria.

Dia menyebut, kebijakan itu bukan saja bertentangan dengan hak asasi manusia dan nilai keagamaan, tetapi juga memperlihatkan wajah kekuasaan yang sewenang-wenang, tanpa empati sosial.

“Ini bukan kebijakan, ini pemaksaan. Pemerintah tidak boleh menjadikan tubuh warga sebagai alat tukar atas bantuan sosial. Jika ini dipaksakan, maka negara berubah menjadi rezim kontrol atas tubuh rakyatnya,” ujar Romadhon dalam keterangannya, Minggu (4/5/2025).

Romadhon mengutip pernyataan Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang secara tegas menyatakan bahwa vasektomi hukumnya haram kecuali dalam kondisi darurat medis. Dia menilai, tetap melanjutkan kebijakan ini setelah fatwa dikeluarkan, sama saja dengan mengabaikan sensitivitas keagamaan mayoritas rakyat Jawa Barat.

“Gubernur yang baik seharusnya menjadi jembatan antara negara dan nilai-nilai moral masyarakat, bukan malah menantang arus besar kepercayaan publik,” ucap Romadhon.

Romadhon juga menyoroti bahwa usulan tersebut bertentangan dengan UUD 1945 dan UU Kesehatan, yang mewajibkan setiap tindakan medis berdasarkan kesukarelaan dan persetujuan sadar, tanpa tekanan ekonomi maupun politik.

Menurutnya, kebijakan Dedi secara prinsip telah menghilangkan unsur sukarela dan menyelipkan unsur paksaan terselubung.

“Ketika orang miskin disuruh memilih antara lapar atau menjalani vasektomi, itu bukan pilihan, itu penindasan terselubung,” tegas Romadhon.

Romadhon juga mengkritik gaya kepemimpinan Dedi Mulyadi yang dianggap terlalu fokus pada viralitas dan kontroversi, tetapi miskin pertimbangan etika dan legitimasi.

Dia menyebut, pola ini sebagai bentuk populisme dangkal, di mana setiap kebijakan dibungkus dengan dramatisasi media tanpa kajian akademik maupun konsultasi publik.

“Dedi tampaknya lebih suka menjadi ikon media daripada pelayan rakyat. Sayangnya, rakyat bukan panggung konten, dan kebijakan bukan sekadar cuplikan TikTok,” katanya.

Romadhon menambahkan bahwa kebijakan seperti ini dapat memperluas ketidakpercayaan publik terhadap program bansos pemerintah.

Jika bansos mulai dikaitkan dengan syarat-syarat diskriminatif, maka warga akan menganggap negara tidak lagi hadir sebagai pelindung, melainkan sebagai pengontrol hidup mereka.

Romadhon mendesak agar DPRD Jawa Barat, Komnas HAM, dan organisasi masyarakat sipil segera turun tangan untuk menghentikan kebijakan yang disebutnya “brutal dan tidak berperikemanusiaan” ini.

Dia pun mengajak masyarakat untuk bersuara sebelum tubuh rakyat menjadi objek eksperimen sosial pejabat yang kehilangan arah.

“Jika Dedi tetap ngotot, maka ini bukan lagi soal kebijakan, tetapi pembangkangan terhadap nilai dasar konstitusi dan akal sehat. Pemimpin seperti ini harus dikritik keras sebelum kerusakan lebih jauh terjadi,” pungkasnya. (YAKUSA.ID-HS)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *